KADANG KATA ATAU KALIMAT TAK SEMANIS PERBUATAN

Pagi tadi, terdapat beberapa pesan yang diposting oleh teman kita. Isinya tidak diragukan lagi, berbagai nukilan dan petikan kata-kata bahkan dalam bentuk kalimat-kalimat mutiara yang panjang. Nilai estetika kebahasaan sungguh sangat indah dan enak dibaca, mudah dipahami maknanya dan tanpa harus banyak melakukan interpretasi sendiri.
Kata-kata atau kalimat-kalimat itu dapat kita pastikan, bahwa bagi si penyusunnya bukan sekedar merangkai kata-kata atau kalimat-kalimat menjadi indah, enak dibaca dan empuk didengar. Lebih dari itu, aktualisasi sebagai prilaku nyata adalah kulminasinya. Apa yang diharapkan oleh pembuat kata-kata atau kalimat itu dapat mengubah perilaku, baik bagi dirinya maupun bagi pembacanya, walaupun kata-kata atau kalimat itu sepenuhnya dapat saja berubah makna terpulang pada tangkapan si pembaca. Si ‘pembuat’ kata atau kalimat tak lagi memiliki kuasa apapun yang lebih dari sekedar sebongkah pensiunan pembuat kata atau kalimat.
Semua itu, menyebabkan hadirnya suatu pertanyaan dari kata atau kalimat tersebut. Sekali lagi, bukan pada kata-kata atau kalimatnya, melainkan untuk siapa kata-kata dan kalimat itu ditujukan. Untuk si pembacakah, untuk si pembuatnyakah, atau untuk sekedar dirinya masing-masing.
Kekuatan kata-kata atau kalimat-kalimat yang dihasilkan, baik yang bersifat dahulu maupun yang bersifat modern, hasil ungkapan failasuf klasik maupun failasuf kekinian, baik itu firman, sabda, petuah, ataupun hanya sekedar ungkapan sederhana, dengan secepat kilat akan tersebar dan sampai di sekitar kita melalui media. Di facebook kita, di twitter kita, di sms kita, di WA kita, atau di mana saja, di kaos kita, di bacaan lain kita. Pernahkah kata-kata atau kalimat itu memantik diri kita untuk memulai mengambil nilai sebagai sari pati dari sekedar kata-kata atau kalimat-kalimat; action, amalkan…. more doing, agar kata atau kalimat terasa benar-benar manis…

Dr. Mukti Ali, M. Hum
Dekan Fakultas Dakwah IAIN Salatiga